Untukbisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteria berikut ini: 1. Adil Perawinya harus bersifat adil. Adil di sini artinya bukandalam memutuskan perkara, melainkan orang yang selalu memelihara ketaatan kepada Allah SWT dan menjauhi perbuatan maksiat.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Jika kita membahas hadist, pasti terlintas bagaimana hadits bisa sampai pada kita dengar saat ini, dan bahkan manfaatnya dapat kita rasakan, siapa yang menyambungkan hadist dari masa Rasulullah sampai pada telinga kita sekarang? Jawabannya adalah kita perlu membaca artikel ini, perawi sayarat dan proses transformasinya...Pengertian Perawi HaditsPerawi hadits adalah orang yang meriwayatkan suatu hadits dengan telah memenuhi syarat yang telah ditentukan. Menjadi seorang perawi merupakan kedudukan yang sangat mulia karena suatu pekerjaan yang tidak sembarang orang bisa melakukannya. Peran seorang perawi hadits bisa kita rasakan sampai saat ini, yaitu dengan adanya hadits yang sampai pada telinga kita pada saat ini, mengingat hadits digunakan sebagai sumber hukum kedua setelah Al - Qur'an, sebagai penjelas hukum - hukum didalamnya. Coba kita bayangkan, apabila tidak ada perawi hadits maka hal - hal yang di sampaikan oleh Rasulullah SAW dan yang sangat berguna dalam kehidupan dunia dan akhirat kita, kita tidak bisa mengetahuinya, karena tidak ada seorang perawi yang mampun menjaga hadits hingga sampai pada telinga kita saat ini, maka kita akan merasa merugi sekali, karena tidak mampu mengikuti sunnah Rasullullah SAW. Lalu apasih yang menjadikan seorang perawi merupakan profesi yang sangat mulia, dan bagaimana kualifikasinya, simak materi selanjutnya. Syarat Menjadi Seorang Perawi Hadits adapun syarat menjadi seorang perawi hadits yang telah disepakati oleh para muhaditsin adalah 1. Beragama Islam yaitu perawi hadits harus beragama islam seperti apa yang telah disepakati oleh para ulama2. Baligh yaitu seorang perawi hadits juga harus baligh atautelah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk3. Memiliki ketahanan dalam ingatannya atau disebut sebagai dlabitul rawi yaitu seorang perawi hadits juga harus memiliki ingatan yang tajam hal ini karena jika seorang perawi hadist itu memiliki gangguan terhadap ingatannya maka ditakutkan dapat merancaukan isi dari hadits 4. Adil 'adalah, adil dimaksudkan disini adalah dapat menjaga dirinya dari segala perbuatan - perbuatan mungkar dan ingkar, karena seorang perawi hadist diharapkan dapat menuntuk umat ke jalan yang benar, oleh karena itu dimulai dari dirinya jika ada salah satu syarat diatas yang tidak terpenuhi dengan baik atau adanya kecacatan syarat oleh seorang perawi hadits maka dapat menghalangi hadits menjadi hadits yang shahih. Nah setelah kita mengetahui apa saja syarat menjadi seorang perawi hadits, maka kita juga harus mengetahui nih bagaimana seorang perawi hadits sampai bisa menerima suatu hadits atau juga bisa kita sebut sebagai trasformasi perawi Perawi Hadits 1 2 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya Adayang mengatakan, bahwa di samping syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadits yang di sampaikan itu tidak syad, tidak ganjil, dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat ayat -ayat Al-Quran. B. Proses Transformasi (Tahammul Wa Ada') Hadits. 1. Was this document helpful?Leave a comment or say thanksCourse agama183 DocumentsStudents shared 183 documents in this courseMAKALAHSYARAT SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSPORMASI PERIWAYATANHADISDibuat untuk memenuhi tugas dalam Perkuliahan Ulumul HaditsDosen Pengampu Ratika Rovianti, oleh1. Wiwin Suharni2. Jamilatul Khasanah3. Is Dwi Siti Nurjanah4. Sarifatul Mahmuda5. Siti Latifatussa’adah6. Nuraina7. Neni Juwita8. ToyibFAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUANPRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAMINSTITUT AGAMA ISLAMANNUR LAMPUNG2021 Rowimenurut bahasa, adalah orang yang meriwayatkan hadits dan semacamnya. Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan. Syarat-Syarat Rawi sebagai berikut : Islam, karena itu, hadis dari orang kafir tidak diterima. Baligh, hadis dari anak kecil di tolak Definisi RawiPengertian RawiSyarat Wajib RawiAdilMuslimBalighBerakalTidak Berdosa BesarTidak Sering Berdosa KecilDhabitTingkatan RawiShare thisRelated posts Definisi Rawi Rawi menjadi salah satu unsur penting dalam sebuah hadits, secara singkat pengertian rawi yaitu periwayat atau penyampaian hadits. Sahabat muslim pasti sudah mengetahui, bahwa hadits menjadi salah satu pedoman yang harus diamalkan oleh umat Islam. Sama pentingnya dengan Al-Qur’an, hadits berisi penjelasan lebih rinci mengenai ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Hadits berisi sabda Rasulullah dan beberapa firman Allah yang dikenal sebagai hadits qudsy. Sebelum dibuat menjadi hadits tertulis, semua ucapan Rasul pada zaman dahulu langsung dihafalkan dan diamalkan oleh umat Islam. Seiring perkembangan zaman, para sahabat mulai membukukan hadits dengan mencatat semua sabda, orang-orang penyampai haditslah yang disebut dengan rawi. Pengertian rawi menurut bahasa yaitu meriwayatkan, sedangkan menurut istilah rawi adalah orang-orang yang meriwayatkan hadits secara lisan maupun tulisan, asalkan hadits tersebut didengar langsung dari gurunya. Seorang perawi pun harus memiliki kecerdasan yang tinggi serta kejujuran, karena akan mempengaruhi hadits yang disampaikan. Baca Juga Mengenal Ta Marbutah dalam Bahasa Arab dan Al Qur’an Tidak semua orang bisa menjadi perawi hadits, tentunya ada banyak syarat yang harus dipenuhi untuk dapat meriwayatkan sebuah hadits. Karena nantinya hadits akan menjadi sebuah pedoman hidup umat muslim setelah Al-Qur’an. Proses periwayatannya pun tidak mudah, melalui proses yang panjang serta memakan waktu lama. Syarat Wajib Rawi Ada beberapa sifat wajib yang harus dimiliki seorang rawi agar bisa meriwayatkan hadits shohih. Seperti yang sahabat muslim ketahui bahwa hadits memiliki tingkat validnya tersendiri, yaitu hadits shohih, hasa, dan dhoif. Berikut ini beberapa sifat wajib seorang rawi Adil Adil di sini berbeda dengan perilaku adil dengan sifat istiqamatuddin dan al-muru’ah. Istiqamatudiin adalah menjalankan semua kewajiban sebagai seorang muslim yang baik, serta menjauhi segala maksiat yang berujung kefasikan. Sedangkan al-muru’ah menjalankan akhlak terpuji dan tidak membuat orang lain mencelanya, inilah yang disebut adil. Muslim Pada zaman dahulu banyak orang kafir yang ingin mengacaukan periwayatan hadits, maka dari itu sebelum meriwayatkan hadits, seorang rawi harus dipastikan kemuslimannya. Bahkan seorang muslim yang fasik pun diragukan periwayatannya dan bisa disebut kafir, hal tersebut telah Allah firmankan dalam Qs. Al-Hujurat 6 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan kecerobohan, yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” Baligh Syarat ketiga seorang rawi yaitu baligh, jadi periwayatan atau kesaksian seorang anak yang belum baligh tetap saja tidak mendapat validasi, sekalipun bisa jadi kesaksiannya itu benar. Pada zaman sahabat, ada banyak anak muda yang memperdalam ilmu agama bersama para syekh. Untuk dapat meriwayatkan sebuah hadits, mereka harus menunggu sampai usianya baligh. Berakal Seorang rawi yang hendak meriwayatkan hadits tentunya harus berakal, tidak dalam keadaan sakit mental. Kondisi tidak sepenuhnya sadar setelah bangun tidur juga bisa dibilang tidak berakal, karena periwayatan hadits memang sangat ketat. Tidak Berdosa Besar Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, seorang rawi harus memiliki sifat adil dalam pandangan islam. Rawi juga tidak boleh memiliki catatan dosa besar seperti membunuh, mencuri, berzina, dan lain-lain. Karena hal ini tentu akan mempengaruhi kualitas ucapannya. Tidak Sering Berdosa Kecil Selain tidak pernah melakukan dosa besar, seorang rawi juga tidak boleh melakukan dosa kecil. Seseorang yang taat agama pasti akan mejauhi dosa besar maupun kecil sebisa mungkin, rawi seperti inilah yang dapat meriwayatkan hadits shohih. Dhabit Dhabit memiliki dua kriteria, yaitu dhabit kuat hafalan di mana seorang rawi memiliki daya ingat yang tinggi dan tidak mudah lupa. Sedangkan dhabit yang kedua, yaitu kemampuan memelihara alkitab yang diberikan oleh gurunya, tidak ada ada perubahan sedikit pun yang dilakukan oleh rawi. Tingkatan Rawi Tidak semua rawi dapat memenuhi syarat wajib yang disebutkan di atas, maka dari itu terciptalah tingkatan rawi. Bahkan untuk mengenali dan mengidentifikasi sifat para rawi pun ada ilmu, yaitu ilmu thabaqah. Dengan mempelajari ilmu tersebut, para ahli hadits akan memudahkan penelitian suatu sanad dalam hadits. Baca Juga Pengertian dan Contoh Lengkap Jamak Taksir Tingkatan tersebut biasanya diklasifikasikan berdasarkan kriteria para rawi serta zaman kehidupannya. Sehingga rawi yang dihasilkan berbeda-beda, juga dapat mempengaruhi kualitas hadits yang diriwayatkannya. Berikut ini tiga tingkatan hadits dan para perawi yang mendudukinya Tingkat Sahabat Abu Hurairah meriwayatkan Aisyah meriwayatkan Annas bin Malik meriwayatkan dll. Tingkat Tabiin Umayyah bin Abdullah bin Khalid, Sa’id bin Al-Musayyab, dll. Tingkat Mudawwin Bukhari, Muslim, Imam An-Nasa’iy, dll. Penjelasan mengenai di atas sudah cukup untuk memberikan wawasan umum mengenai hadits. Tidak semua hadits memiliki periwayat yang memenuhi syarat, sehingga terbentuklah keshohihan hadits. Maka dari itu, sahabat muslim harus lebih teliti lagi ketika menemukan sebuah hadits, lakukan pemeriksaan apakah hadits tersebut shohih, hasan, atau bahkan dhaif. Pemuda Muslim Yang Selalu Memperbaiki Hati dan Diri Programmer Blogger Desainer
HaditsMu'allaq sendiri pada dasarnya merupakan hadits dhoif karena tidak memenuhi syarat hadits sohih yaitu bersambungnya sanad. Namun dalam keadaan ini berbeda halnya dengan hadits-hadits Muallaq yang tercantum dalam kitab Sohih Bukhari dan Muslim.
Pada dasarnya mayoritas ulama merujuk pada sifat taqwa dan menjaga murû’ah ketika memberikan syarat siapa orang yang pantas disebut sebagai orang yang âdil. Hanya saja mungkin beberapa ulama berbeda dalam cara menyampaikan maksud dan tujuannya. Ini terlihat ketika banyak ulama memberikan syarat yang berbeda dalam menentukan seseorang pantas diberi predikat sebagai orang yang âdil dalam hal periwayatan hadis. Seperti halnya al-Hâkim memberikan tiga syarat seseorang dapat dikatakan âdil yaitu harus beragama Islam, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat maksiat.[1] Sedangkan Ahmad Muhammad Syakir memberikan enam syarat yang harus dimiliki seseorang yang pantas dikatakan sebagai orang yang âdil yaitu beragama Islam, sudah baligh, berakal, memelihara murû’ah, tidak berbuat fâsiq dan dapat dipercaya beritanya.[2] Nuruddin Itr Memberikan 5 syarat yang wajib dipenuhi seseorang yang mempunyai sifat âdil yaitu beragama Islam, sudah baligh, berakal sehat, bertakwa pada Allah SWT, dan berperilaku yang sejalan dengan murû’ah serta meninggalkan hal-hal yang mungkin merusaknya, yakni meninggalkan segala sesuatu yang bisa menjatuhkan harga diri manusia menurut tradisi masyarakat yang benar seperti mencaci-maki atau menghina orang lain.[3] Sedangkan al-Jurjani memberikan empat syarat saja pada seseorang yang bisa disebut sebagai orang yang âdil yaitu harus memelihara murû’ah, tidak berbuat dosa besar, menjauhi dosa kecil, dan biasanya benar.[4] Bahkan Hasby al-Shiddiqie hanya memberikan dua syarat saja untuk seseorang yang bisa dikatakan âdil yaitu berlaku taqwa dan memelihara âdil.[5] Perbedaan-perbedaan mengenai syarat ini bahkan dijelaskan oleh Syuhudi Ismail dalam bentuk tabel yang lebih memudahkan pembaca untuk memahaminya. Syuhudi Ismail mengumpulkan lima belas pendapat berbeda dari lima belas orang ulama tentang syarat-syarat seseorang dapat dikatakan âdil. Kesimpulan yang didapat oleh beliau adalah tidak ditemukannya kesamaan secara utuh di antara lima belas pendapat tersebut. Dalam penjelasannya beliau mengatakan bahwa hanya Nuruddin Itr yang menyebutkan syarat terbanyak yaitu tujuh syarat. Sedangkan al-Hâkim merupakan satu-satunya ulama yang memberikan syarat paling sedikit yakni tiga butir. Sedangkan rata-rata ulama hanya menyebutkan kurang dari tujuh syarat dan rata-rata pada umumnya ulama-ulama hanya menyebutkan empat sampai lima syarat saja yang diajukan.[6] Bisa dimengerti perbedaan-perbedaan itu dilandasi karena berbeda zaman dan keadaan kondisi umat pada saat itu. Sebagai contoh ketika para sahabat menerima hadis dari sahabat lain maka syarat yang diajukan mungkin tidak akan sama seperti seorang tabiin yang menerima riwayat dari tabiin lain. Syarat-syarat yang diajukan bisa longgar bisa juga sempit tergantung dari kebijaksanaan para ulama dalam menentukannya. Bahkan karena sikap hati-hatinya para ulama merinci kembali syarat yang diajukan oleh ulama sebelumnya. Seperti halnya âdil dan dhâbith menjadi hal yang berbeda pada zaman sekarang. Dilihat dari definisi serta syarat yang diajukan oleh para ulama, maka mayoritas ulama merujuk pada empat syarat umum yang harus dimiliki oleh rawi yang âdil. Keempat syarat tersebut adalah harus beragama Islam, orang yang mukalaf yakni sudah baligh dan berakal sehat, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara murû’ah. [7] Agar lebih jelas penulis akan merinci kembali empat syarat umum yang harus dimiliki oleh seorang perawi yang âdil berikut dengan penjelasannya. Keempat syarat tersebut adalah Hal pertama yang harus dipenuhi oleh perawi yang âdil adalah harus beragama Islam. Syarat ini dibutuhkan periwayat ketika menyampaikan riwayat sebuah hadis bukan ketika menerima sebuah hadis.[8] Para ulama berbeda pendapat mengenai dalil yang digunakan sebagai dasar alasan mengapa seseorang yang ingin meriwayatkan hadis harus beragama Islam. Namun, sebagian ulama berlandaskan pada al-Hujurat ayat ke enam. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ ٦ “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fâsiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”[9] Ayat di atas bermaksud memerintahkan kita untuk menyelidiki terlebih dahulu berita yang dibawa oleh orang fâsiq. Dengan menunjuk ayat tersebut, kebanyakan ulama berpendapat, orang fâsiq saja tidak dapat diterima periwayatan hadisnya apalagi, apalagi orang kafir.[10] Berbeda dengan ulama di atas, ulama lain menjadikan al-Baqarah ayat 282 sebagai dasar acuan menjadikan Islam sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang âdil. مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ ”saksi-saksi yang kamu ridhai.” Kata ridha dalam ayat ini, tidak dapat diwujudkan kecuali dengan agama Islam, karena orang kafir identik dengan khianat. Dan Islam tidak dapat menerima sifat khianat, walaupun orang kafir tersebut memiliki sifat jujur dan amanah.[11] Bahkan sebagian ulama memakai argumen aksioma al-Badihiy. Yaitu, mereka menyatakan bahwa hadis itu berkenaan dengan sumber agama Islam. Non muslim tidak dapat diterima beritanya tentang ajaran Islam. Hanya yang beragama Islamlah yang dapat diterima beritanya berkenaan dengan ajaran Islam.[12] Maka, menurut Syuhudi Ismail argumen-argumen yang dipakai sebagai dasar menjadikan Islam sebagai syarat tidaklah berasal dari dalil naqli yang sharih, tetapi berasal dari pemahaman ayat dan dalil logika. Walaupun argumen-argumen tersebut berbeda-beda, tetapi semua argumen itu saling memperkuat.[13] Mukallaf adalah perpaduan antara baligh dan berakal sehat. Dengan kata lain, anak kecil dan orang gila tidak dapat diterima periwayatan hadisnya karena mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Seorang anak kecil yang belum baligh kadang kala sengaja berbuat bohong atau sembarangan, sedangkan orang gila bahkan lebih dari itu, karena pada dasarnya ia sama sekali tidak memiliki faktor ke dhâbith an seperti itu.[14] Argumen yang mendasari unsur berstatus mukalaf ini tidak ada yang berupa dalil naqli yang sharih, dalam arti khusus untuk syarat periwayatan hadis. Ulama dalam hal ini menggunakan dalil naqli yang sifatnya umum.[15] Sebagaimana dalam hadis dikatakan “terangkat pena dari tiga orang dari orang gila sampai sembuh, dari orang tidur sampai terbangun dan dari anak kecil sampai mimpi basah”[16] Terlepas dari dalil di atas, dalam hal ini dapat dinyatakan pula bahwa argumen yang digunakan sebagai dasar penetapan mukalaf menjadi salah satu syarat adalah argumen aksioma juga.[17] Namun, syarat ini hanya harus dipenuhi oleh orang yang ingin menyampaikan riwayat hadis saja. Untuk kegiatan penerimaan riwayat hadis dapat saja masih belum mukalaf, asalkan dia telah mumayyiz dengan kata lain dapat memahami maksud pembicaraan dan dapat membedakan antara sesuatu dan sesuatu yang lain. Jadi, bisa dikatakan jika seorang anak kecil menerima riwayat hadis, kemudian setelah mukalaf riwayat tersebut disampaikan kepada orang lain, maka penyampaian riwayat hadisnya telah memenuhi salah satu kriteria ke shaẖîẖ an sanad seseorang.[18] 3. Melaksanakan ketentuan agama Para ulama kebanyakan mengambil surat al-Hujurat ayat enam sebagai dasar penetapan melaksanakan ketentuan agama sebagai salah satu syarat. Ayat tersebut berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fâsiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”[19] Dengan jelas ayat ini memerintahkan kita untuk meneliti kebenaran berita yang berasal dari orang fâsiq. Mayoritas menggunakan ayat ini sebagai dalil bahwa riwayat hadis yang diriwayatkan oleh orang fâsiq harus ditolak.[20] Disebutkan bahwa apabila ayat di atas dihubungkan dengan sebab turunnya Alqur’an maka kata fâsiq dalam ayat tersebut berarti orang yang berkata bohong.[21] Menurut Zamakhsyari sendiri arti asal dari kata fâsiq ialah keluar dari jalan yang lurus.[22] Namun, menurut sebagian ulama kata fâsiq dalam ayat tersebut berarti pendusta dan sebagian lain mengartikannya dengan orang yang dikenal berbuat dosa.[23] Dalam menerapkan hukum yang diambil dari Alqur’an ulama menganut suatu kaidah hukum yang disebut al-ibrah bi umum al-lafzh la bi khushush al-sabab. Kaidah mempunyai pengertian bahwa hukum yang diambil didasarkan pada pengertian umum redaksi ayat bukan didasarkan kejadian khusus yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut.[24] Apabila kaidah ini diterapkan pada ayat ini, maka ayat ini tidak hanya berlaku pada Walid bin Uqbah saja, yaitu orang yang telah membuat laporan palsu kepada Nabi, namun berlaku kepada masyarakat umum yang berbuat demikian.[25] Raghib al-Asfahani W. 502 H mengatakan bahwa kata fâsiq dipakai untuk menyebut perbuatan dosa baik kecil ataupun besar, sedikit ataupun banyak. Tetapi yang lebih masyhur kata fâsiq disebutkan untuk menyebut perbuatan dosa yang banyak dan terbanyak. Dengan kata lain, seseorang bisa dikatakan fâsiq karena orang itu pada awalnya menaati dan melaksanakan hukum-hukum syariat Islam dan mengakui kebenarannya, tetapi di sisi lain dia merusakkan sebagian atau bahkan seluruh hukum tersebut. Maka, orang kafir bisa dikatakan orang fâsiq karena telah merusak hukum yang dibenarkan oleh akal dan fitrah manusia yaitu Islam.[26] Beberapa ulama tafsir menjelaskan bahwa arti asal kata fisq adalah keluar dari sesuatu. Sedangkan, arti menurut syariat adalah keluar dari ketaatan kepada Allah SWT. Bentuknya bisa berupa kekufuran ataupun perbuatan maksiat lainnya.[27] Bisa dikatakan bahwa orang yang tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan agama Allah SWT tidak akan merasa berat untuk membuat berita bohong, baik berita umum maupun riwayat hadis yang khusus dan sakral. Karenanya orang tersebut tidak bisa dipercaya periwayatan hadisnya.[28] Sebagian ulama menjadikan salah satu hadis Nabi sebagai dasar menjadikan menjaga murû’ah sebagai syarat. Hadis yang dimaksud adalah حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ رِبْعِىِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو أَبِى مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِى فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ “Diriwayatkan dari Aqabah ibnu Amr dan Ibnu Mas’ud bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda pernyataan para Nabi yang telah dikenal oleh manusia adalah bila anda tidak merasa malu, maka lakukanlah apa yang kamu kehendaki”[29] Ibnu Qudamah mengatakan bahwa orang yang memelihara rasa malunya berarti memelihara murû’ahnya. Jika orang berlaku demikian maka pantang baginya untuk mengatakan atau menyampaikan berita dusta, karena perbuatan seperti itu adalah perbuatan hina yang tidak akan dilakukan bahkan dihindari oleh orang yang sangat menjaga sifat murû’ahnya.[30] Menyimak beberapa definisi dan syarat yang diajukan oleh banyak ulama di atas, seolah-olah secara umum dapat disimpulkan bahwa seorang rawi yang âdil digambarkan dan diharuskan sempurna dalam bingkai batas-batas ideal, di mana ia harus menjadi seseorang yang tak berdosa. Inilah persoalan yang selalu dikhawatirkan di mana dengan konsep âdil itu diterjemahkan sebagai sesuatu yang berada di luar dimensi insani. Penerjemahan seperti ini, sebenarnya tak bisa dipungkiri karena ditujukan dengan tujuan untuk menggapai autentisitas hadis yang optimal. Namun, di sisi lain dibutuhkan adanya tolak ukur ilmiah dalam menerima periwayatan hadis berhubung pengkodifikasiannya terlambat dibanding Alqur’an. Oleh karena itulah, kebanyakan ulama menerjemahkan âdil pada sisi yang lebih realistis sehingga dapat terukur secara ilmiah.[31] Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Syâfiî’, Ibnu al-Musayyab dan lain-lain. Ibnu al-Musayyab mengatakan bahwa, yang dimaksud âdil bukanlah yang terlepas dari dosa karena bagaimanapun juga “tidak ada seorang pun yang memiliki kemuliaan atau keilmuan kecuali ia pun memiliki aib. Namun, karena keutamaannya lebih banyak daripada kekurangannya, hal ini menjadikan aibnya tak tampak secara jelas.”[32] Hal senada dikemukakan pula oleh al-Syâfiî’ setelah beliau menjelaskan secara ideal konsep-konsepnya. Dalam hal ini beliau berkata bahwa, “aku tidak mengakui adanya seseorang diberi ketaqwaan pada Allah SWT sehingga ia tidak mencampurkannya dengan kemaksiatan. Hal seperti ini sebagaimana terjadi pada Yahya bin Zakaria Namun persoalannya, apabila ketaatan seseorang itu lebih banyak dari kemungkarannya maka ia pun termasuk orang yang âdil.[33] Adapun hal lain yang harus diperhatikan dalam memahami konsep âdil, di samping memiliki pengertian “tidak terlepas dari dosa”, juga yang dimaksud dengan âdil harus dinisbahkan pada periwayatan hadis bukan pada persaksian. Dalam hal ini, dalam persaksian dibutuhkan adanya dua orang saksi, sedangkan dalam periwayatan hadis minimal dibutuhkan satu orang.[34] Atas dasar ini, para ahli hadis menyusun kaidah-kaidah yang berkaitan dengan syarat dan definisi seseorang disebut orang yang âdil tidak bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Para ahli hadis menilai âdil tidaknya seseorang bukan berdasarkan kebersihan orang tersebut dari dosa, melainkan yang lebih berat timbangan sifat âdil-nya daripada syadz-nya.[35] [1] Muhammad Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad al-Hâkim dalam menentukan Status Hadis Jakarta Paramadina, 2009, h. 94 [2] Muhammad Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis. [3] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis. [4] al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat. h. 156 [5] Hasbyi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. h. 205 [7] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. [8] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 137 [9] Depatemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahannya. h. 846 [10] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. [11] Muhammad Dhiya’ al-Rahmân al-A’zhamî, Dirâsat fi al-Jarẖ wa al-Ta’dîl, Riyadh Dâr al-Salam, 1402 H, h. 177 [12] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 138 [13] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 138 [14] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis. h. 73 [15] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. juga Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Surabaya Salim bin Sa’ad bin Nabhan wa Akhuhu Ahmad, h. 44 [16] Ditakhrij oleh Imam Ahmad, Abû Daud, dan al-Hâkim dari Umar dan Ali ada juga jalur lain dari sayyidah A’isyah Lihat juga Jalaluddin al-Suyuthi, Fath al-Kabir fi Dhamm al-Ziyadah ila al-Jami’ al-Shagir, Mesir tanpa penerbit, Lihat juga Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushûl al-Hadis Pokok-Pokok Ilmu Hadis. h. 203 [17] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, h. 139 [18] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta Bulan Bintang, 1992, Cet. 1, h. 230 [19] Depatemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahannya. h. 846 [20] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 139. Lihat juga Abû Hasan Ali bin Abî Ali bin Muhammad al-Âmidiy, al-Ahkâm fi Ushûl al-Ahkâm, Mesir Muhammad Ali Shâbih wa Aulâduh, 1387 H, juz 1, h. 261 [21] Abû Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbâb al-Nuzûl Alqur’an, Riyadh Dâr al-Qiblat li Saqafat al-Islamiyah, 1404 H, h. 412-414 [22] Abû Qâsim Jar al-Allah Mahmûd bin Umar al-Zamakhsyari, al-Faiq fi Ghârib al-Hadis, Beirut Dâr al-Fikr, 1399 H, h. 116 [23] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 139. Lihat juga Abû Abd al-Allah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Jamî’ li Ahkam Alqur’an, Kairo Dâr al-Kitâb al-Arabi, 1387 H, Cet. 3, juz 16, h. 311-312 [24] Muhammad al-Arusi Abd al-Qadir, Masalah Takhshish al-Am bi al-Sabab au al-Ibrah bi Umum al-Hukm la bi Khushush al-Sabab, Kairo al-Mathba’ah al-Arabiyyah al-Hadisah, 1403 H, h. 54-62 [25] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 140 [26] Abû Qasim al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib Alqur’an, Mesir Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1382 H, h. 380 [27] al-Qurthubi, Jami’ li Ahkâm Alqur’an. juz 1, h. 245-246 [28] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. h. 141 [29] Muhammad bin Yazid Abi Abdillah al-Qazawaini, Sunan ibn Majah, Beirut Dâr al-Fikr, juz II, h. 1400 [30] Abû Muhammad Abd al-Allah bin Ahmad bin Muhammad Ibn Qudamah, al-Mughni li Ibn Qudamah, Riyadh Maktabah al-Riyadh al-Hadisah, 1401 H, Juz IX, h. 169 [31] M Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis,. [32] M Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis,. [33] Rif’at Fawzi Abd al-Muthallib, Tawtsiq al-Sunnah fi al-Qarn al-Tsani al-Hijri. lihat juga M Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis,. [34] Fatcurrahman, Ikhtishar Musthalâh 249. lihat juga M Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis. [35] Faruq Hamadah, al-Manhaj al-Islami fi al-Jarẖ wa al-Ta’dîl Dirâsah Manhajiyyah fi Ulûm al-Hadis, Beirut Dâr al-Nasyr al-Ma’rifah, 1989, h. 158-159. Lihat juga Abdul Hakim, Adalah al-Shahabah Menurut Ahmad Amin. h. 29

Halini memiliki makna bahwa hadits ini bukanlah hadits yang disusun berdasarkan pendapat pribadi dari para pemberitanya melainkan sesuatu yang benar-benar terjadi. Hadits yang tidak sesuai dengan syart di atas tidak dapat dianggap sebagai hadits mutawatir yang sah meskipun jumlah perawinya banyak. Pembagian Hadits Mutawatir. Berdasarkan penjelasan para ulama, hadits mutawatir dibagi menjadi 3 kelompok. Berikut penjelasannya: Hadits Mutawatir Lafzi; Hadits mutawatir lafzi memiliki pengertian

Jakarta - Dalam syariat Islam, penyembelihan hewan kurban memiliki aturan-aturan tertentu yang wajib dipatuhi. Termasuk waktu penyembelihan hewan kurban. Berikut penjelasan kapan tepatnya batas waktu penyembelihan hewan kurban berdasarkan dari buku Modul Fikih Ibadah susunan Rosidin, waktu penyembelihan kurban yang paling baik adalah hari pertama sesudah sholat Idul Adha hingga matahari terbenam di akhir hari Tasyriq 11, 12, 13 Dzulhijjah. Hal ini didasari oleh hadits riwayat al-Barra' ibn 'Azib RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda"Sesungguhnya permulaan sesuatu yang kami lakukan pada hari ini Idul Adha adalah sholat kemudian pulang; setelah itu menyembelih kurban. Barangsiapa melakukannya, maka dia telah mendapatkan kesunahan; dan barangsiapa menyembelih kurban sebelum itu, maka sembelihannya itu hanyalah daging yang dihidangkan untuk keluarganya dan sama sekali bukan termasuk binatang kurban." HR Bukhari. Adapun dalam riwayat lainnya Jubair ibn Muth'im RA menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda "... dalam seluruh hari Tasyriq merupakan waktu diperbolehkan menyembelih hewan kurban" HR Ibnu Hibban.Berdasarkan hadits tersebut, dapat diketahui bahwa menyembelih hewan kurban mendahului waktunya bukan berarti buruk atau terlarang. Namun, perlu dipahami jika daging yang disembelih bukan pada waktu sesuai yang disyariatkan adalah sedekah biasa dan pahala yang didapat adalah pahala bersedekah, bukan pahala karena itu, batas awal penyembelihan hewan kurban adalah pada hari pertama Idul Adha tepatnya setelah melaksanakan sholat Idul Adha. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa yang menyembelih sebelum sholat, maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya. Dan barangsiapa yang menyembelih setelah sholat dan khotbah, sesungguhnya ia telah sempurnakan dan ia mendapat sunnah umat Islam." HR Bukhari dan Muslim.Adapun bagi yang sudah terlanjur melaksanakan kurban sebelum sholat Id, dikutip dari buku Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Jilid 1 oleh Ibnu Rusyd, disebutkan dalam salah satu versi riwayat dalam hadits Abu Burdah bin Nayyar, "Sesungguhnya ia pernah menyembelih kurban sebelum sholat Idul Adha, lalu Rasulullah SAW menyuruhnya untuk mengulangi."Ulama-ulama yang menganggap hadits tersebut sebagai ketentuan, termasuk Imam Muslim, mengatakan bahwa tidak boleh menyembelih kurban mendahului sang imam. Oleh karena itu, umat muslim perlu hati-hati sebelum benar-benar melaksanakan penyembelihan yang perlu diketahui adalah makruh hukumnya menyembelih hewan kurban pada malam hari. Meskipun tetap sah, dikhawatirkan akan membahayakan jika melakukan kesalahan dalam penyembelihan. Dikhawatirkan juga jumlah orang-orang fakir yang datang ke tempat penyembelihan lebih sedikit jika dibandingkan penyembelihan dilakukan pada waktu siang apabila masih dilakukan dalam rentang waktu 11-13 Dzulhijjah, penyembelihan kurban tersebut akan terhitung sah dengan pahala kurban. Namun, apabila penyembelihannya setelah matahari terbenam pada tanggal 13 Dzulhijjah, hukumnya tidak sah sebagai kurban. Jadi, batas akhir penyembelihan hewan kurban adalah hari terakhir pada hari dalam buku Cara Berkurban karya Abdul Muta"al Al-Jabry, Ali RA, Imam Syafi'i, Atha', dan Al Hasan berdasarkan hadits Jubair bin Muth'im mengatakan bahwa Rasulullah bersabda "Semua hari Tasyriq adalah waktu penyembelihan kurban," dan dalam hadits lainnya disebutkan, "Seluruh hari Mina adalah waktu penyembelihan." HR Ahmad dan Daruquthni, juga Ibnu Hibban dan Baihaqi.Sebagaimana dengan hari raya lainnya yakni Idul Fitri, penyembelihan kurban yang termasuk ke dalam satu rangkaian ibadah juga tidak dapat dilaksanakan kecuali pada hari atau waktu yang telah ditentukan. Sebab, kurban adalah esensi utama dari hari raya Idul Adha. Pendapat ini disepakati oleh Sa'id bin Jubair dari Jabir bin penjelasan lengkap terkait kapan tepatnya batas awal dan akhir dari waktu penyembelihan hewan kurban sesuai dengan syariat Islam dan bersumber dari hadits nabi. Jangan sampai lupa, ya! Simak Video "Jelang Idul Adha, Penjualan Hewan Kurban di Bandung Meningkat" [GambasVideo 20detik] dvs/dvs Haditsdhaif ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan hadits hasan. Yaitu hadis yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa hadis mauquf, maqthu', mursal, mu'allaq, mudallas, munqathi' atau mu'dlal), atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, atau mengandung kejanggalan atau cacat.
Jakarta Arti musinnah merupakan salah satu persyaratan hewan kurban saat Idul Adha. Ada banyak ketentuan yang telah ditetapkan Rasulullah SAW dalam hadis terkait hewan yang sah dijadikan hewan kurban pada saat Hari Raya Idul Adha. Hukum Patungan Kurban Saat Idul Adha, Bolehkah? Hukum Menjual Kulit Hewan Kurban, Simak Penjelasan Kemenag RI 5 Cara Menyembelih Hewan Kurban yang Benar, Simak Doanya Syarat hewan kurban musinnah diterangkan dalam riwayat hadits yang dinukil dari kitab Fikih Sunnah Jilid 5 karya Sayyid Sabiq. Diriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersabda لا تَذْبَحُوا إِلا مُسنة، فإِن تَعْمُرُ عَلَيْكُمْ فَاذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ Artinya "Janganlah kalian menyembelih hewan kurban kecuali musinnah. Namun jika sulit bagimu, maka sembelihlah biri-biri domba jadza'ah." HR Muslim. Lantas apa arti dari musinnah? Berikut ulas mengenai arti musinnah yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Kamis 8/6/2023.Sapi-sapi kurban milik Presiden Jokowi dan Gubernur Anies Baswedan dikirim ke Kepulauan Seribu. Warga kepulauan tersebut senang karena pertama kalinya Presiden Jokowi mengirimkan hewan kurban ke hewan kurban buku Panduan Qurban dari A sampai Z 2015 karya Ammi Nur Baits, yang menjelaskan terkait arti musinnah adalah hewan yang sudah masuk usia dewasa. Kata musinnah sendiri berasal dari bahasa Arab yakni sinnun yang artinya gigi. Hal ini karena ketika hewan ini menginjak usia musinnah, ada giginya yang tanggal atau poel. Definisi lain, musinnah adalah hewan yang gigi depannya telah tumbuh permanen. Sedangkan di bawah usia musinnah adalah usia jadzaah. Hewan yang termasuk musinnah dan jadzaah berbeda-beda. Berikut rinciannya Jadza’ah untuk domba gembel, yakni domba yang sudah berusia 6 bulan menurut Madzhab Hanafi dan Hanbali. Adapun menurut Maliki dan Syafi’i adalah domba yang sudah genap satu tahun. Musinnah untuk kambing, baik kambing jawa maupun domba adalah kambing yang sudah genap satu tahun, menurut Madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Sedangkan menurut Madzhab Syafi’i, kambing yang usiannya genap dua tahun. Musinnah untuk sapi adalah umur dua tahun, menurut Madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Sedangkan menurut Malikiyah, sapi yang usianya tiga tahun. Musinnah untuk unta adalah unta yang genap lima tahun, menurut Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbali. Maka tidak sah berkurban dengan hewan yang belum mencapai umur minimal yang telah disebutkan di atas. Tapi diizinkan oleh Nabi Muhammad saw untuk berkurban dengan domba jika sudah sempurna 6 bulan usianya. Dalam buku berjudul Fiqih Kurban 2021 karya Ustadz Abu Abdil A’la Hari Ahadi, menjelaskan bahwa jenis hewan yang boleh dikurbankan terdiri dari 5 jenis, yakni unta, sapi, kerbau, kambing, dan domba. Kondisi hewan ini harus sehat dan tidak cacat. Kondisi cacat yang dimaksud menurut syariat adalah pincang, buta, sakit, dan kurus. Rasulullah SAW bersabda dalam hadist berikut “Tidak bisa dilaksanakan kurban binatang yang pincang, yang nampak sekali pincangnya, yang buta sebelah matanya dan nampak sekali butanya, yang sakit dan nampak sekali sakitnya dan binatang yang kurus yang tidak berdaging.” HR. Tirmidzi. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda, “Ada empat hewan yang tidak boleh dijadikan kurban buta sebelah yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya ketika jalan, dan hewan yang sangat kurus, seperti tidak memiliki sumsum.” HR. Nasa’i, Abu Daud dan dishahihkan Al-Albani. Selain itu, ada juga cacat yang menyebabkan makruh untuk berkurban, ada dua 1. Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong. 2. Tanduknya pecah atau patah. Kemudian, cacar lainnya adalah cacat yang tidak berpengaruh pada hewan kurban boleh dijadikan untuk kurban namun kurang sempurna. Seperti tidak bergigi ompong, tidak berekor, bunting, atau tidak Hewan Kurban yang LainnyaIlustrasi hewan kurban/copyright musinnah, terdapat beberapa persyaratan hewan kurban yang perlu diketahui umat Muslim adalah sebagai berikut Merupakan hewan ternak sapi, kambung, unta, domba, dan kerbau. Satu kambing hanya boleh atas nama satu pengkurban. Sementara untuk sapi, bisa menjadi hewan kurban untuk 7 orang. Hewan harus sehat, bebas dari penyakit, dan tidak boleh buta atau bermata satu, kehilangan bagian dari ekor atau telinganya. Sebagian besar mazhab fiqh menerima bahwa hewan harus dijinakkan. Ketentuan Penyembelihan KurbanPengungsi Rohingya yang tinggal di Malaysia mengontrol seekor sapi sebelum menyembelihnya saat Idul Adha di Kuala Lumpur, Malaysia, 10 Juli 2022. Umat muslim seluruh dunia merayakan Idul Adha atau Hari Raya Kurban untuk memperingati kesediaan Nabi Ibrahim mengorbankan putranya. Mohd RASFAN/AFPBerikut ini terdapat beberapa ketentuan penyembelihan hewan kurban menurut syariat Islam, yakni Kurban dilakukan saat Iduladha dan hari tasyrik setelahnya. Kegiatan kurban dilaksanakan mulai pagi hari tanggal 10 sampai terbenamnya matahari tanggal 13 Dzulhijjah. Penyembelih beragama islam, baligh dan mampu menyembelih, membaca bismillah dan berniat atas nama orang yang berkurban. Alat penyembelihan, harus tajam, alat tersebut bisa berbahan besi, bambu, kaca ataupun yang lainnya, Tidak diperkenankan berbahan tulang, kuku,atau pun gigi. Tujuan penyembelihan untuk tujuan yang diridhai Allah SWT bukan untuk tujuan tumbal atau untuk sajian nenek moyang berhala atau upacara kemusrikan lainnya. Tata Cara Penyembelihan Hewan KurbanGubernur DKI Jakarta Anies Baswesdan menyembelih sendiri hewan kurban miliknya di Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriah, Minggu 10/7/2022. NelfiraDalam Islam juga dijelaskan terkait tata cara penyembelihan hewan kurban yang benar. Berikut ini penjelasannya Membaringkan hewan kurban dengan posisi lambung kirinya ke tanah dengan muka menghadap kiblat, Mengikat semua kaki hewan tersebut dengan tali kecuali kaki sebelah kanan bagian belakang. Letakkan kaki si penyembelih di atas leher atau muka hewan tersebut supaya hewan tersebut tidak dapat menggerakkan kepalanya. Membaca Bismillah. Membaca shalawat. Membaca takbir. Apabila orang lain yang menyembelihkan, maka si penyembelih menyebutkan nama-nama orang yang berkurban. Mengasah pisau yang akan digunakan supaya lebih tajam Mulai menyembelih hewan * Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
bYyX.
  • jjwz430oak.pages.dev/322
  • jjwz430oak.pages.dev/19
  • jjwz430oak.pages.dev/180
  • jjwz430oak.pages.dev/389
  • jjwz430oak.pages.dev/289
  • jjwz430oak.pages.dev/3
  • jjwz430oak.pages.dev/13
  • jjwz430oak.pages.dev/418
  • berikut ini yang tidak termasuk syarat perawi hadits adalah